1. PENDAHULUAN
Metode perpaduan Problem Solving merupakan salah satu Metode pembelajaran dimana kegiatan belajar mengajar dipusatkan pada siswa. Berdasarkan observasi dan sudah menjadi santapan umum bahwa pengajaran oleh guru biasanya dilakukan dengan metode ceramah dan tanya jawab.
Metode pengajaran seperti ini belum memberikan hasil belajar yang memuaskan pada diri siswa. Oleh sebab itu, peneliti menerapkan metode perpaduan Problem Solving untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.
Pemecahan masalah (problem solving) dapat didefenisikan sebagai suatu proses penghilangan perbedaan atau ketidaksesuaian yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil yang diinginkan. Salah satu bagian dari proses peme-cahan masalah adalah pengambilan keputusan (decision making) yang didefenisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia. Pengambilan keputusan yang tidak tepat akan mempengaruhi kualitas hasil pemecahan masalah yang dilakukan. Kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah adalah keterampilan yang dibutuhkan oleh hampir semua orang dalam aspek kehidupannya. Akan tetapi, keterampilan ini menjadi lebih penting lagi perannya, bila dikait-kan dengan posisi seorang pemimpin yang melaksanakan tugas-tugas kepemim-pinannya dalam suatu organisasi. Pimpinan yang mampu menyelesaikan masa-lah organisasinya dengan tepat dan benar, dipastikan akan dapat mengambil keputusan yang tepat untuk memperlancar kepemimpinannya. Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.
Beragam teori tentang pemecahan masalah telah dihasilkan oleh banyak pakar dan ahli manajemen. Akan tetapi, dari sederetan teori tersebut, metode pemecahan masalah secara analitis dipandang sebagai teori yang ‘mempan’ untuk beragam kondisi dan suasana organisasi. Metode ini adalah salah satu pendekatan pemecahan masalah yang sering dilakukan, serta bisa meningkat-kan kualitas individu. Dengan menggunakan metode ini, seseorang dituntut untuk bisa lebih kreatif dalam menganalisa sebuah permasalahan. Kendatipun demikian, keberhasilan metode ini sangat bergantung kepada kepiawaian indi-vidu atau pemimpin yang terlibat dalam masalah yang hendak diselesaikan itu.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN METODE PROBLEM SOLVING
Adapun keunggulan metode problem solving sebagai berikut:
1. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
2. Berpikir dan bertindak kreatif.
3. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
4. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
5. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
6. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
7. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja.
Kelemahan metode problem solving sebagai berikut:
1. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misal terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.
2. Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.
1. LANGKAH-LANGKAH PEMECAHAN MASALAH
Dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi, terutama dalam kepemimpinan sebuah organisasi (kelas), ada beberapa langkah yang harus dilalui, yaitu :
1. Menganalisa Masalah
Pada bagian ini, kita dituntut untuk bisa menganalisa atau melakukan diagnosa terhadap sebuah masalah, kejadian, peristiwa atau situasi supaya kita bisa fokus pada masalah yang sebenarnya. Seringkali orang dalam mela-kukan pemecahan masalah terjebak pada gejala-gejala yang timbul dari masalah tersebut.
Agar kita bisa memfokuskan perhatian kita pada masalah sebenarnya, dan bukan pada gejala-gejala yang muncul, maka dalam proses mendefenisi-kan suatu masalah, diperlukan upaya mencari informasi yang diperlukan sebanyak-banyaknya. Dengan demikian diharapkan, kita bisa mendefensi-kan masalahnya dengan tepat dan benar.
Berikut ini adalah beberapa karakteristik dari pendefenisian masalah yang baik :
1. Fakta dipisahkan dari opini atau spekulasi. Data objektif harus dipisah-kan dari persepsi.
2. Semua pihak yang terlibat diperlukan sebagai sumber informasi.
3. Masalah harus dinyatakan secara tegas. Hal ini seringkali dapat meng-hindarkan kita dari pembuatan defenisi yang tidak jelas.
4. Defenisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas adanya ketidak-sesuaian antara standar atau harapan yang telah ditetapkan sebelumnya dan kenyataan yang terjadi.
5. Defenisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas pihak-pihak yang terkait atau berkepentingan dengan terjadinya masalah itu.
2. Membuat Alternatif Pemecahan Masalah
Setelah kita berhasil mendiagnosa masalah tersebut dengan tepat dan benar, langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah membuat sejumlah alternatif pemecahan masalah. Pada tahap ini, kita diharapkan dapat memi-lih hanya satu solusi, sebelum alternatif solusi-solusi yang ada diusulkan. Dengan memilih satu solusi masalah yang ditawarkan akan menjadikan kualitas pemecahan masalah lebih efektif dan efesien.
Ada beberapa karakteristik pembuatan masalah yang harus diperha-tikan, yakni :
a. Semua alternatif yang ada sebaiknya diusulkan dan dikemukakan terle-bih dahulu sebelum kemudian dilakukan evaluasi.
b. Alternatif-alternatif yang ada, diusulkan oleh semua orang yang terlibat dalam penyelesaian masalah. Semakin banyak orang yang mengusulkan alternatif, semakin bagus pula untuk meningkatkan kualitas solusi dan penerimaan kelompok.
c. Alternatif-alternatif yang diusulkan harus sejalan dengan tujuan atau kebijakan organisasi. Kritik dapat menjadi penghambat, baik terhadap proses organisasi maupun proses pembuatan alternatif pemecahan masalah.
d. Alternatif-alternatif yang diusulkan perlu mempertimbangkan konse-kuensi yang muncul dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
e. Alternatif-alternatif yang ada saling melengkapi satu dengan yang lain. Gagasan yang kurang menarik, bisa menjadi gagasan yang menarik bila dikombinasikan dengan gagasan-gagasan lainnya.
f. Alternatif yang diusulkan harus dapat menyelesaikan masalah yang telah didefenisikan dengan baik. Masalah lainnya yang muncul, mungkin juga penting. Namun dapat diabaikan bila tidak secara langsung mempenga-ruhi pemecahan masalah utama yang sedang terjadi.
3. Mengevaluasi Alternatif-alternatif
Setelah kita berhasil mengenali karakteristik pembuatan alternatif tersebut di atas, kita perlu pula untuk mengevaluasi alternatif-alternatif pemecahan masalah yang telah diambil. Pada tahap ini, kita dituntut untuk berhati-hati memberikan penilaian keuntungan dan kerugian terhadap alternatif-alternatif yang diambil. Agar kita tidak terjebak pada kesalahan dalam penentuan solusian atau pemecahan masalah, maka pada tahap evaluasi ini kita harus memperhatikan :
1. Tingkat kemungkinannya untuk dapat menyelesaikan masalah tanpa menyebabkan terjadinya masalah lain yang tidak diperkirakan sebelum-nya.
2. Tingkat penerimaan dari semua orang yang terlibat di dalamnya.
3. Tingkat kemungkinan penerapannya.
Berikut ini adalah karakteristik-karakteristik dari evaluasi alternatif pemecahan masalah yang baik :
a. Alternatif-alternatif yang ada dinilai secara relatif berdasarkan suatu standar yang optimal, bukan sekadar standar yang memuaskan.
b. Penilaian terhadap alternatif-alternatif yang ada dilakukan secara siste-matis, sehingga semua alternatif yang diusulkan akan dipertimbangkan.
c. Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan tujuan organisasi dan mempertimbangan pandangan-pandangan dari orang lain yang terlibat di dalamnya.
d. Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan dampak yang mung-kin ditimbulkannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
e. Alternatif yang paling dipilih dinyatakan secara tegas.
4. Rencana Tindak Lanjut
Yang harus dilakukan selanjutnya adalah penerapan solusi yang telah kita pilih pada bagian pencarian alternatif pemecahan masalah. Pada bagian ini, seorang penentu kebijakan harus peka pada keadaan yang mungkin timbul terhadap solusi yang dijalankan, karena bagaimana pun, setiap solusi yang ditawarkan selalu ada titik balik yang kemungkinan ada reaksi negatif.
Berikut ini adalah karakteristik dari penerapan dan rencana tindak lanjut yang efektif :
1. Penerapan solusi dilakukan pada saat yang tepat dan dalam urutan yang benar. Penerapan tidak mengabaikan faktor-faktor yang membatasi dan tidak akan terjadi sebelum tahap 1, 2, dan 3 dalam proses pemecahan masalah dilakukan.
2. Penerapan solusi dilakukan dengan menggunakan strategi “sedikit demi sedikit” dengan tujuan meminimalkan terjadinya perlawanan dan me-ningkatkan dukungan.
3. Proses penerapan solusi meliputi juga proses pemberian umpan balik. Berhasil tidaknya penerapan solusi, haris dikomunikasikan, sehingga terhadi proses pertukaran informasi.
4. Keterlibatan dari orang-orang yang akan terkena dampak dari penera-pan solusi dianjurkan dengan tujuan untuk membangun dukungan dan komitmen.
5. Adanya sistem monitoring yang dapat memantau penerapan solusi secara berkesinambungan.
6. Penilaian terhadap keberhasilan penerapan solusi berdasarkan atas terselesaikannya masalah yang dihadapi, bukan karena adanya manfaat lain yang diperoleh dengan adanya penerapan solusi ini. Sebuah solusi tidak dapat dianggap berhasil bila masalah yang menjadi pertimbangan yang utama tidak terselesaikan dengan baik, walaupun mungkin muncul dampak positif lainnya.
1. MEMANAJEMEN PEMECAHAN MASALAH
Menghadapi masalah dan memecahkannya secara berulang-ulang, dapat menjadikan kita dewasa dan memiliki filosofis hidup. Kekuatan filosofis kehi-dupan adalah sejauhmana kita bisa mene-mukan tujuan hakiki hidup ini.
Salah satu pendekatan yang kerap digunakan dalam memanajemen peme-cahan masalah adalah dengan menggunakan kiat terobosan (breaktrough oriented). Keahlian dalam terobosan ini tidak dalam bentuk proses bertahap, tetapi lebih kepada penggunaan Tujuh Kerangka Berpikir, sebagai berikut :
1. Originalitas dan Kemandirian
Pendekatan originalitas dan kemandirian ini menjadi dasar agar tidak selalu bertitik tolak pada permasalah biasa, tetapi masuk pada kondisi untuk mencari sesuatu yang baru dalam pemecahan masalah.
2. Menentukan Target
Menentukan target yang tepat dan berkonsentrasi kepadanya dengan menyortir kegiatan-kegiatan yang berhubungan langsung dengan target tersebut.
3. Memecahkan Masalah Berulang-ulang
Membuat model permasalahan yang terjadi, melakukan simulasi terhadapnya, dan mencoba model tersebut kepada permasalahan yang lain, lalu mensimulasinya kembali secara berulang-ulang, sehingga jawaban dari permasalahan yang terjadi memiliki sifat stabil.
4. Memiliki Sistem Khusus
Keberhasilan memecahkan suatu masalah akan memunculkan masa-lah lain. Hal ini karena satu masalah yang kita hadapi adalah bagian dari sistem permasalahan yang integeral, sehingga diperlukan sistem pemecahan masalah yang mencakup keleluasaan elemen dan dimensi permasalahan yang sedang dihadapi.
5. Mengumpulkan Informasi yang Akurat
Informasi yang akurat menentukan keberhasilan pemecahan masa-lah. Ini termasuk keahlian dalam mencari sumber informasi dan meracik berbagai informasi yang didapatkan.
6. Orientasi kepada Orang Lain
Pemecahan suatu masalah harus bersifat universal, sehingga setiap orang yang memiliki permasalahan yang sama bisa memecahkan masalah dengan menggunakan pendekatan yang pernah dilakukan pendahulunya.
7. Memperbaiki Jadwal dan Program Kerja
Kunci dalam memecahkan masalah yaitu menentukan tujuan atau target yang lebh besar, lalu menentukan pembaharuan sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya masalah baru, lalu melakukan semua itu dengan keyakinan dan manajemen yang baik.
22 Februari 2010
7 Februari 2010
Problem Penyakit Budaya
1. PRASANGKA
Definisi klasik prasangka pertama kali dikemukakan oleh psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport yang menulis konsep itu dalam bukunya, The Nature of Predujice pada tahun 1954. Istilah berasal dari praejudicium, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhada orang atau kelompok tertentu.
Menurut Allport, “prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes. Antipati itu dirasakan atau dinyatakan. Allpot memang sangat menekankan antipati bukan sekedar pribadi tetapi antipati kelompok.
Johnson (1986) mengatakan prasangka adalah sikap positif atau negatif berdasarkan keyakinan stereotipe kita tentang anggota dari kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang kita berikan.
Menurut johnson (1981) prasangka adalah sikap intipati berlandaskan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Prasangka merupakan sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompoknya sendiri.
Jadi prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan bagi kegiatan komunikasi karena orang yan berprasangka sudah bersikap curiga dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi.
Sekarang pengertian prasangka lebih diarahkan pada pandangan emosional dan negatif terhadap sesorang atau sekolompok orang dibandingkan dengan kelompok sendiri.
Definisi Allport disanggah oleh psikolog Theodore Adorno. Adorno yang menciptakan teori pribadi otoriter mengemukakan melalui riset atas pola rasisme yang dilakukan di wilayah selata AS. Ia menemukan bahwa pola-pola rasisme muncul dari kepribadian otoriter. Jadi pada dasarnya prasangka merupakan salah satu tipe kepribadian. Dengan demikian kita tidak perlu mempermasalahkan tindakan rasisme karena tindakan itu muncul dari pribadi berprasangka yang diwarisi dari proses sosialisasi.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa prasang merupak sikap, pengertian, keyakinan dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada dipikiran, sedangka diskriminasi mengarah ke tindakan sistematis. Kalau prasangka berubah menjadi tindankan nyata maka pasangka berubah menjadi diskriminasi yaitu tindakan menyingkirkan status dan peranan seseorang dari hubungan, pergaulan, dan komunikasi antar manusia. Secara umum kita dapat melihat prasangka mengandung tipe afektif (berkaitan dengan perasaan negatif), koognitif (selalu berpkir sesuatu stereotipe), dan konasi (kecenderungan berperilaku diskriminatif).
Prasangka didasarkan atas sebab-sebab seperti :
- Generalisasi yang keliru pada perasaan
- Stereotipe antaretnik
- Kesadaran “in group” dan “out group” yaitu kesadaran akan ras “mereka” sebagai kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan dengan “ kami”.
2. STAREOTIPE
Stereotipe merupakan salah satu bentuk utama prasangka yang menunjukan perbedaan “kami” yang selalu dikaitkan dengan superioritas kelompok “kami” dan cenderung mengevaluasi orang lain yng dipandang inferior “mereka”.
Stereotipe adalah pemberian sifat tertentu terhadap sesorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif hanya karena dia berasal dari kelompok lain. Pemberian sifat tersebut bisa positif maupun negatif.
Vedeber (1986) menyatakan bahwa stereotipe adalah sikap juga karakter yang dimiliki sesorang dalam menilai karakteristik, sifat negatif, maupun positif orang lain, hanya berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu.
Allan G. Johson (1986) stereotipe adalah keyakinan sesorang dalam menggeneralisasikan sifat-sifat tertentuyang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tertentu. Keyakinan ini menimbukan penilaian yang cenderung negatif bahkan merendahkan orang lain. Ada kecenderungan memberikan “label” atau cap tertetu pada kelompok tertentu dan yang termasuk problem yang perlu diatasi adalah stereotipe yang negatif atau merendahkan kelompok lain.
Di dalam menghadapi fenomena budaya yang ada di tanah air ini, kita perlu memberi informasi yang benar tentang berbagi hal yang berkaitan dengan ras, suku, agama, dan antar agama. Seringkali, keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi. Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotipe yaitu :
1. Karakter atau sifat tertentu yang berkaitan dengan perilaku, kebiasaan berperilaku, gender dan etnis. Misalnya, wanita periang itu suka bersolek.
2. Bentuk atau sifat perilaku turun menurun sehingga seolah-olah melekat pada semua anggota kelompok. Misalnya, oran ambon itu keras.
3. Penggeneralisasian karakteristik, ciri khas, kebiasaan, perilaku kelompik kepada individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.
Tajfel (1981) membedakan bentuk atau jenis stereotipe yaitu :
1. Stereotipe individu adalah generalisasi yang dilakukan oleh individu dengan menggeneralisasi karakteristik orang lain dengan ukurang luas dan jarak tertentu melalui proses kategori yang bersifat kognitif (berdasarkan penglaman individu).
2. Stereotipe sosial terjadi jika stereotipe itu menjadi evaluasi kelompok tertentu, telah menyebar dan meluas pada kelompok sosial lain.
Stereotipe itu bersifat unik dan berdasarkan pengalaman individu, namun kadang merupakan hasil pengalam dan pergaulan dengan orang lain maupun dengan anggota kelompok itu sendiri. Adakah hubungan antara stereotipe dengan komunikasi
Hewstone dan Giles (1986) mengajukan empat kesimpulan tentang proses stereotipe :
1. Proses stereotipe merupakan hasil dari kecenderungan mengantisipasi atau mengharapkan kualitas derajat hubungan tertentu antara anggota kelompok tentu berdasarkan sifat psikologis yang dimliki.
2. Sumber dan sasaran informasi mempengaruhi proses informasi yang diterima atau yang hendak dikirimkan. Stereotipe berpengaruh terhadap porses informasi individu.
3. Stereotipe menciptakan harapan pada anggota kelompok tertentu (in group) dan kelompok lain (out group).
4. Stereotipe menghambat pola perilaku komunikasi kita dengan orang lain.
3. ETNOSENTRISME
Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk menetapkan semua norma dan nilai budaya orang lain dengan standar budayanya sendiri. Etnosentrisme merupakan paham-paham yang pertama kali diperkenalkan oleh William Graham Sumner (1906), seorang antropolog yang beraliran interaksionisme. Berpandangna bahwa manusia pada dasarnya individualistis yag cenderung mementingkan diri sendiri, namun karena harus berhubungan dengan manusia lain, maka terbentuklah sifat antagonistik. Supaya pertentangan itu dapat dicegah maka perlu ada folkways (adat kebiasaan) yang bersumber pada pola-pola tertentu. Mereka yang memiliki folkways yang sama cenderung berkelompok dalam satu kelompok yang disebut etnis.
4. RASISME
Kata ras berasal dari bahasa prancis dan itali “razza” pertama kali istilah ras dikenalkan Franqois Bernier, antropolog perancis, untuk mengemukakan gagasan tentang perbedaa manusia berdasarkan kategori atau karakteristik warna kulit dan bentuk wajah. Setelah itu, orang lalu menetapkan hirarki manusia berdasarkan karakteristik fisik atas orang eropa berkulit putih yang diasumsikan sebagai warga masyarakat kelas atas berlawanan dengan orang afrika yang berkulit hitam sebagai warga kelas dua.
Ras sebagai konsep secara ilmiah digunakan bagi “penggolongan manusia” oleh Bufon, anthorpolog perancis, untuk menerangkan penduduk berdasarkan pembedaan biologis sebagai parameter. Pada abad 19, para ahli biologis membuat klasifikasi ras atas tiga kelompok, yaitu kaukasoid, negroid dan mongoloid. Hasil penilitian menunjukan bahawa tidak ada ras yang benar-benar murni lagi. Secara biologis, konsep ras selalu dikaitkan dengan pemberian karakteristik seseorang atau sekelompok orang ke dalam satu kelompok tertentu yang secara genetik memiliki kesamaan fisik seperti warna kulit, mata, rambut, hidung, atau potongan wajah. Pembedaan seperti itu hanya mewakili faktor tampilan luar.
Karena tidak ada ras yang benar-benar murni, maka konsep tentang ras seringkali merupakan kategori yang bersifat non- biologis. Ras hanya merupakan konstruksi ideologi yang menggambarkan gagasan rasis.
Secara kultur. Carus menghubungkan ciri ras dengan kondisi kultur. Ada empat jenis ras yaitu : afrika, mongol, dan amerika yang berturut-turut mencerminkan sian hari (terang), malam hari (gelap), cerah pagi (kuning), dan sore (senja) yang merah.
Namun konsep ras yang kita kenal lebih mengarah pada konsep kultur dan merupakan kategori sosial, bukan biologis. Montagu, membedakan antara “ide sosial dari ras” dan “ide biologis dari ras”. Definisi sosial berkaitan dengan fisik dan perilaku sosial.
5. DISKRIMINASI
Jika prasangka mencakup sikap dan keyakinan, maka diskriminasi mengarah pada tindakan. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh orang yang memiliki prasangka kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan atau hukum. Antara prasangka dan diskriminasi ada hubungan yang saling menguatkan, selama ada prasangka, disana ada diskriminasi. Jika prasangka dipandang sebagai keyakinan atau ideologi, maka diskriminasi adalah terapan keyakinan atau ideologi. Jadi diskriminasi merupakan tindakan yang membeda-bedakan dan kurang bersahabat dari kelompok dominan terhadap kelompok subordinasi.
6. KAMBING HITAM (Scape Goating)
Teori kambing hitam mengemukakan kalau individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Ketika terjadi depresi ekonomi di jerman, Hitler mengkambing hitamkan orang yahudi sebagai penyebab rusaknya sistim politik dan ekonomi di negara itu. Ada satu pabrik di auscwitz, polandia yang digunakan untuk membantai hampir 1,5 juta orang yahudi. Tua muda, besar kecil laki-laki dan perempuan dikumpulkan. Kepala digunduli dan rambut yang dikumpulkan mencapai hampir 1,5 ton. Rambut yang terkumpul itu akan dikirimkan ke jerman untuk dibuat kain. Richard Chamberlain berteori bahwa bangsa aria adalah bangsa yang besar dan mulia yang mempunyai misi suci untuk membudayakan umat manusia. Bangsa aria (jerman) ini merasa bahwa kekacauan ekonomi dan politik di jerman disebabkan oleh bagsa yahudi.
Langganan:
Postingan (Atom)